Advokat asal Surabaya, Muhammad Sholeh atau akrab disapa Cak Sholeh, mendapat permintaan dari sejumlah pedagang dan pekerja untuk menggugat aturan PPKM Darurat. Cak Sholeh menyebut jika aturan PPKM Darurat memberatkan para pedagang. Padahal, lanjut Sholeh, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, sejak awal urusan ekonomi dan kesehatan harus jalan beriringan.
"Bukan berarti orang jualan tidak takut covid, semuanya takut." "Tapi karena mereka lapar, butuh makan, maka mereka tetep ada di jalanan," ungkap Sholeh. Pria yang juga sempat menggugat aturan rapid test untuk perjalanan pada 2020 ini menilai kesan yang terlihat dari pemerintah adalah menyalahkan masyarakat.
"Pemerintah tidak pernah mau introspeksi, kesannya kalau kasus (corona) naik masyarakat yang disalahkan karena tidak taat protokol kesehatan (prokes)," ungkapnya. "Pemerintah tidak introspeksi TKA (tenaga kerja asing) bisa masuk, bagaimana TKI bisa pulang akhirnya ada ledakan (kasus covid) di Madura, kenapa itu tidak ditutup?" lanjutnya. Sementara apabila ada pelanggaran yang dilakukan dari pihak pemerintah, terkesan dibiarkan.
"Orang orang disuruh di rumah, e anaknya menteri keluyuran ke Jepang," ungkapnya. Juga ketika Gubernur Jawa Timur (Jatim) membuat pesta ulang tahun, maupun beberapa pejabat yang melakukan hal sama. "Ndak ada itu sanksi, tapi giliran tukang bubur kena (denda) Rp 5 juta, di Tasikmalaya kena denda, kan kasihan," ujar Sholeh.
Adapun upaya gugatan ini, disebut Sholeh sebagai upaya agar ekonomi dan kesehatan masyarakat dapat berjalan beriringan. “Gugatan ini goalnya adalah supaya pemerintah menerapkan PSBB dan memberikan ruang ekonomi rakyat berjalan.” “Konsekuensinya prokes diperketat, kerumunan dibubarkan. Supaya kesehatan dan ekonomi bisa berjalan.”
“Sebab kegagalan PSBB karena operasi prokes di tingkat bawah anget anget tai ayam ,” ungkap Sholeh. Sementara itu, menanggapi permintaan untuk menggugat PPKM Darurat, Sholeh menyebut masih mencari terobosan hukum yang pas. Ia menyebut ada sejumlah kesulitan yang dihadapi.
"Kalau (aturan) itu digugat di PTUN, karena instruksi dibuat Mendagri, kan harus ke Jakarta, tentu itu susah karena kita di Surabaya," ungkapnya. Kesulitan kedua, kata Sholeh, harus melewati pengajuan keberatan kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Kalau ditolak, harus mengajukan banding keberatan ke Presiden.
"Setidaknya butuh 24 hari baru boleh mengajukan ke PTUN, keburu PPKM buyar (sudah tidak ada)," ungkapnya. Namun jika tidak digugat, Sholeh menyebut tidak ada jaminan PPKM Darurat tidak dilanjutkan lagi pada pekan depan. "Saya ingin ambil jalan tengah, saya tetep mencari terobosan hukum, bagaimana bisa digugat di Surabaya, pemerintah pusat kena, pemerintah provinsi kena, pemerintah kota kena, supaya bisa jalan semua, supaya ini bagian dari kritikan pemerintah supaya jalan tengah tetap ada," ungkap Sholeh.
Sementara itu, Sholeh menyebut sejak awal mempelajari kebijakan PPKM, ia tidak menemukan rujukan dasar hukumnya. "Kalau kita bicara pandemi, ada dua Undang undang (UU) yang dipakai, yaitu UU No 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan UU No 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular," ungkapnya. Dari Instruksi Mendagri mulai Nomor 15 hingga 22 yang kemarin, ancaman yang dicantumkan tetap menggunakan dua UU tersebut.
"Tetapi kalau kita baca UU Kekarantinaan Kesehatan, ada dua yang dipakai, yaitu PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan Kekarantinaan Wilayah." "Nah PPKM itu tidak ada," ungkap Sholeh. Sholeh juga mempertanyakan apa beda PPKM dengan PSBB.
"Apa bedanya sih PPKM dengan PSBB? Kerumunan tidak boleh, sekolah libur, ibadah wisata ditutup, tidak ada bedanya, cuma istilah saja." "Rujukan hukum nggak ada, mestinya tetap pakai PSBB, ada cantolannya," ungkap Sholeh. Tak sampai di situ, Sholeh juga mempertanyakan mengenai komando kebijakan.
"Kalau kita baca UU (Kekarantinaan Kesehatan), leading sector nya itu Menteri Kesehatan (Menkes)," ungkapnya. Sholeh merasa heran mengapa tiba tiba komando berubah di tangan Mendagri. "Itu dari mana logika hukumnya, kedua kok tiba tiba Menteri Kemaritiman dijadikan koordinator PPKM Darurat Jawa Bali."
"Kenapa bukan Menko Polhukam, Menko PMK, itu jauh lebih pas," ungkap Sholeh.